1. History
Obat yang paling dikenal dari golongan AINS adalah aspirin, atau acetasalicylic, obat ini pertama kali disintesis pada tahun 1899. Aspirin sudah lama digunakan sebagai analgesik dan anti-inflamasi. Lebih dari 3.000 tahun yang lalu, penggunaan ekstrak tanaman myrtle, yang mengandung asam salisilat yang digunakan untuk meredakan nyeri sendi dan peradangan. Kulit willow, juga memiliki kandungan asam salisilat yang telah digunakan oleh Hippocrates (pendiri kedokteran modern), sebagai pereda nyeri lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Penggunaan kulit pohon willow sebagai pereda nyeri dan sebagai bantuan umum untuk nyeri otot dan sendi terus dilakukan yang di mulai dari abad pertengahan. Felix Hoffman (1868-1946), seorang ilmuwan yang dipekerjakan oleh perusahaan farmasi Bayer, memodifikasi asam salisilat yang diambil dari sumber tanaman untuk memproduksi aspirin, hal ini menjadi produk penjualan terbesar dalam sejarah farmasi (www.World-of-Sports-Science).
- Salisilat: asetosal, benorilat dan diflunisal. Dosis anti-radangnya terletak 2-3 kali lebih tinggi daripada dosis analgetiknya. Berhubungan dengan resiko efek sampingnya sampingnya maka jarang digunakan pada rema.
- Asetat: diklofenak, indometasin dan sunlidac. Indosmetasin termaksud obat yang terkuat daya antiradangnya, tetapi lebih sering menyebabkan keluhan lambung usus
- Propionat: ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, naproksen dan tiaprofenat
- Oxicam: piroxicam, tenoxicam dan meloxicam
- Piazolon: (oksi) fenilbutazon dan azapropazon (prolixan)
- Lainnya: mefenamina, nabumeton, benzidamin dan bufexamac. Benzidamin berkhasiat antiradang agak kuat, tetapi kurang efektif pada gangguan rematik.
Mekanisme kerja
berhubungan dengan sistem biosintesis PG (prostaglandin) mulai dilaporkan pada
tahun 1971 oleh Vane dkk yang memperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah
aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik PG. penelitian lanjutan
telah membuktikan bahwa produksi PG akan meningkat bilamana sel mengalami
kerusakan. Walaupun in vitro obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi
biokimiawi lainnya, hubungannya dengan efek analgesik, antipiretik dan
antiinflamasinya belum jelas.
Mekanisme kerja
berhubungan dengan sistem biosintesis PG (prostaglandin) mulai dilaporkan pada
tahun 1971 oleh Vane dkk yang memperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah
aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik PG. penelitian lanjutan
telah membuktikan bahwa produksi PG akan meningkat bilamana sel mengalami
kerusakan. Walaupun in vitro obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi
biokimiawi lainnya, hubungannya dengan efek analgesik, antipiretik dan
antiinflamasinya belum jelas.
Golongan obat AINS
ini menghambat sikloosigenase (COX) sehingga konversi asam aracidonat menjadi
PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan
kekuatan dan selektifitas yang berbeda. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2
isoform disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang
berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam
pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya
ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di
mukosa lambung, aktifasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat
sitoprotektif. COX-2 semula diduga diinduksi berbagai stimulus inflamatoar,
termaksud sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan. Ternyata COX-2 juga
mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses
perbaikan jaringan. Tromboksan A2 yang disintesis trombosit oleh
COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi dan proliferasi otot polos.
Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh COX-2 di endotel
makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit, vasodilatasi dan efek proliferatif (Tanu, 2007).
Penghambatan COX-1
menghambat pembentukan prostacyclin (PgI2) yang berdaya melindungi
mukosa lambung dan ginjal sehingga demikian bertanggung jawab untuk efek
samping iritasi lambun-usus seta nefrotoksisitasnya. Atas dasar perbedaan ini
telah dikembangkan NSAIDs selektif, yang terutama menghambat COX-2 dan kurang
atau tidak mempengaruhi COX-1 sehingga PgI2 tetap dibentuk dan
iritasi lambung-usus dapat dihindari. Obat ini disebut penghambat COX-2
selektif dan yang kini dikenal adalah senyawa-senyawa celocoxib, rofecoxib,
valdecoxib, parecoxib dan etorixoxib (Tjay dan Rahardja, 2007).
C. Contoh-contoh obat AINS
1. Aspirin
Contoh obat
yang bekerja menghambat enzim COX-1 adalah aspirin atau asetosal (asam asetil
salisilat). Aspirin merupakan analgetik antipiretik dan anti-inflamasi yang
luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Aspirin sangant iritatif,
sehingga hanya digunakan sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi.
Aspirin dosis terapi berkerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dosis
salisilat untuk dewasa adalah 325 mg- 650 mg (Tanu, 2007).
Efek samping. Efek samping salisilat pada pernafasan perlu dimengerti,
karena pada gejala pernafasan tercermin serius gangguan keseimbangan asam dan
basa dalam darah. Salisilat meranggsang pernfasan, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pada dosis terapi salisilat mempertinggi konsumsi oksigen dan
produksi CO2, Peningkatan PCO2
akan merangsang pernafasan sehingga pengeluaran CO2 melalui alveoli
bertambah dan PCO2 dalam plasma turun.
Efek terhadap keseimbangan asam basa. Dalam dosis terapi yang tinggi, salisilat
menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2 tertutama
di otot rangka karena perangsangan fosforilasi oksidatif. Karbondioksida yang
dihasilkan selanjutnya mengakibatkan perangsangan pernafasan sehingga
karbondioksida dalam darah tidak meningkat. Eksresi bikarbonat melalui ginjal
meningkat disertai Na+ dan K+, sehingga bikarbonat dalam
plasma menurun dan pH darah kembali normal. Keadaan ini disebut alkalosis
respiratoar yang terkompensasi, dan sering dijumpai pada orang dewasa yang mendapat
terapi salisilat secara intensif.
Efek urikosurik. Efek ini sangat ditentukan oleh besarnya dosis. Dosis
kecil (1 g atau 2 g perhari) menghambat eksresi asam urat, sehingga kadar asam
urat dalam darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g sehari biasanya tidak mengubah
eksresi asam urat. Tetapi pada dosis lebih dari 5 g per hari terjadi
peningkatan eksresi asam urat melalui urin, sehingga kadar asam urat asam urat
dalam darah menurun. Hal ini terjadi karena pada dosis rendah salisilat
menghambat sekresi tubuli sedangkan pada dosis tinggi salisilat juga menghambat reabsorbsinya
dengan hasil akhir peningkatan eksresi asam urat.
Efek terhadap darah. Pada orang sehat aspirin menyebabkan
perpanjangan masa pendarahan. Hal ini bukan karena hipoprorombinemia, tetapi karena
asetilasi siklooksigenase trombosit, sehingga pembentukan TXA2 terhambat.
Efek terhadap hati dan ginjal. Salisilat bersifat hepatotoksik dan
ini berkaitan dengan dosis, bukan akibat reaksi imun. Salisilat dapat
menurunkan fungsi ginjal pada pasien dengan hipovolemia atau gagal jantung.
Efek terhadap saluran cerna. Efek iritasi saluran cerna yaitu
pendarahan lambung yang berat dapat terjadi pada dosis besar dan pemberian
kronik.
Indikasi. Antipiretik. Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325
mg – 650 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam.
Analgesik. Salisilat bermanfaat untuk mengobagi nyeri tidak
spesifik misalnya sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, nuralgia dan mialgia.
Dosis sama untuk seperti penggunaan untuk antipiretik.
Demam reumatik akut. Dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian obat yang cukup terjadi pengurangan nyeri, kekakuan, pembekakan, rasa panas dan memerahnya jaringan setempat. Dosis untuk dewasa 5,8 g per hari, diberikan 1 g per kali. Dosis untuk anak 100-125 mg/kgBB/hari diberikan tiap 4-6 jam selama seminggu (Tanu, 2007).
2. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derifat asam propionat yang pertama
kali diperkenalkan di banyak negara. Obat ini bersifat analgetik dengan daya
anti-inflamai yang tidak terlalu kuat. Efek analgetiknya sama seperti aspirin.
Efek anti-inflamasinya terlihat dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi
ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah
1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh persen
ibuprofen terikat dalam protein plasm. Eksresinya berlangsung cepat dan
lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsropsi akam dieksresi melalui urin.
Dosis sebagai analgetik 4 kali 400 mg sehari tetapi
sebaiknya dosis optimal pada tiap orang ditentukan secara individual. Ibuprofen
tidak dianjurkan untuk diminum oleh wanita hamil dan menyusui (Tanu, 2007).
3. Diklofenak
Diklofenak
termaksud dalam kelompok preferential COX-2 inhibitor abosorpsi obat ini
melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Pemakaian selama
kehamilantidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi rua
atau tiga dosis. Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan
lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek
metabolisme lintas pertama sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni
1-3 jam, diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang menjelaskan efek terapi
di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim
ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua obat
AINS, pemakaian obat ini harus hati-hati pada pasien tukak lambung.
Piroksikam merupakan
salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat asam enolat. Waktu
paruh dalam plasma lebih dari 45 jam sehingga hanya diberikan sekali sehari.
Absorpsi berlangsung cepat di lambung. Frekuensi kejadian efek samping dengan
piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%. Efek samping tersering adalah gangguan
saluran cerna, antara lain yang berat adalah tukak lambung. Efek samping lain
adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema kulit. Dosis 10-20 mg sehari
diberikan pada pasien yang tidak memberi respon cukup dengan AINS yang lebih
aman.
D. Farmakokinetik
AINS diserap dengan baik secara enteral.
Obat AINS terikat pada protein plasma. AINS tereliminasi pada kecepatan yang
berbeda misalnya : diklofenak (t1 / 2 = 1-2 jam) dan piroksikam (t1
/ 2 ~50 jam), dengan demikian,
dosis interval dan risiko akumulasi AINS akan bervariasi. Eliminasi salisilat, cepat dielimiasi dalam bentuk
metabolit asam asetil salisilat. Salisilat secara efektif diserap di ginjal,
kecuali pada pH urin yang tinggi. Salah satu prasyarat untuk cepatnya eliminasi
di ginjal adalah reaksi konjugasi hepatik terutama dengan glisin (→ asam
salicyluric) dan asam glukuronat. Pada dosis yang tinggi, konjugasi dapat menyebabkan rate
limiting. Proses eliminasi kini semakin tergantung pada salicylate yang tidak
berubah, yang dikeluarkan (eliminasi) perlahan-lahan (Lullman et al, 2000).
Walaupun jalur sintesis ini terlihat
amat mudah, amatlah sulit untuk mengatur reaksi sehingga didapat hasil yang
opimal. Komponen utama yang mula-mula terjadi adalah suatu semi ester karbonat.
Selama fase ini suhu reaksi tidak boleh malampaui batas tertentu (sekitar 350C),
karena terjadi reaksi sampingan seperti digambarkan di bawah ini. Kemudian
barulah pada suhu tinggi (sekitar 1750C, tekanan berlebih CO2)
akan tersubtitusi.
Diklofenak merupakan senyawa turunan aril asetat, untuk pembuatan senyawa aril asetat pada umumnya dapat digunakan reaksi Willgerodt. Dengan mereaksikan arilmetilketon dengan belerang dalam morfolin maka akan terbentuk amida tiokarbonatnya, yang dengan mudah dapat dihirolisis. Berikut merupakan sintesis dari diklofenak yang merupakan turunan dari aril asetat.
Biosintesis fenil butazol (Ebel, 1992)Fenilbutazon
merupakan turunan dari pirazolidindion. Sintesis turunan ini terjadi dengan
kondensasi ester malonat dengan hidrobenzol. Pemasukan rantai samping C-4
terjadi melalui alkilhalogenida sebelum kondensasi atau dengan kondensasi
menggunakan aldehidnya setelah penutupan cincin diikuti dengan hidrasi
katalitik. Berikut merupakan biosintesis dari fenil butazon.
Biosintesis ibuprofen
DAFTAR PUSTAKA
Ebel, Siegfiried. 1992. Obat Sintetik. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
http://www.arthritis-health.com/glossary/non-steroidal-anti-inflammatory-drugs-NSAIDss. Diakses tanggal 22 november 2012.
http://www.faqs.org/sports-science/Mo-Pl/Nonsteroidal-Anti-Inflammatory
DrugsNSAIDSs.html. Diakses tanggal 22 november 2012.
http://www.nature.com/nrc/journal/v1/n1/box/nrc1001-011a_BX1.html. Diakses tanggal 22 november 2012.
Lullmann, H., Mohr, K., Ziegler, A.,
dann Bieger, D. 2000. Calor Atlas of
Pharmacology. Thieme. New York
Rahardjo, Rio. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi II. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Sukandar, E Y., Andarajati, R., Sigit, J I., Adnyana, I K.,
Setiadi, A P dan Kusnandar. 2008. Iso
Farmakoterapi. ISFI. Jakarta.
Tanu. 2007. Farmakologi dan Terapi. FKUI. Jakarta.
Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Edisi VI. Elex Media Komputindo. Jakarta.